Renungan Senin 7 Maret 2016
Membaca injil hari ini tentang seorang ayah yang meminta tolong kepada Yesus karena anaknya sakit, saya jadi teringat akan peristiwa di mana iman saya mengalami ujian. Saat itu saya menghadiri undangan pertemuan wajib pajak di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) di mana saya terdaftar. Dalam acara pertemuan tersebut pembawa acara mengatakan kepada hadirin: ”Bapak/Ibu/Sdr. yang telah terdaftar sebagai wajib pajak di bawah tahun 2000 mendapat hadiah souvenir sebagai ucapan terima kasih dari kami”. Mendengar hal itu segera saya mengeluarkan kartu NPWP dari dompet saya dan menunjukan kartu itu untuk menerima souvenir yang disediakan. Sekitar pukul sebelas siang saya sudah meninggalkan pertemuan itu dan melanjutkan kegiatan selanjutnya; sampai akhirnya sekitar pukul 13.30 ketika saya mau membayar parkir di kelurahan di mana saya baru saja mengurus perpanjangan KTP, saya terkejut karena dompet saya hilang. Saya ingat dompet saya jatuh di KPP ketika saya menunjukkan kartu NPWP saya, mungkin karena senangnya menerima souvenir sehingga kurang hati-hati memasukkan kembali ke kantong celana (sudah saya pastikan bahwa kantong celana saya tidak bolong, hehe…). Dalam hati saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan dompet saya; masalahnya di dalamnya ada uang tunai Rp 600.000 (juga kartu ATM, kartu kredit, SIM) ini yang membuat saya dihadapkan dalam pergumulan untuk pergi ke KPP (yang membutuhkan waktu 20 menit lagi) atau tidak. Saat itu saya hanya bisa berteriak: “ Tuhan Yesus tolong aku”. Apa yang terjadi kemudian, akhirnya dorongan Roh Kudus membawa saya untuk pergi ke KPP dan ajaibnya di tengah para petugas kebersihan sedang membersihkan ruang pertemuan itu, saya menghampiri tempat duduk saya tadi, saya lihat sekitar tempat duduk saya tidak terlihat dompet saya, lalu saya menyingkap taplak meja bundar yang menutupi meja itu sampai ke bawah; puji Tuhan dompet saya ada di tengah bawah meja itu. Saya bersyukur dan sungguh merasakan mujizat yang Tuhan kerjakan itu.
Sahabat, seringkali kita berkata: “Aku membutuhkan tanda, bukti atau mujizat”, baru aku percaya dan beriman kepada Tuhan, namun sesungguhnya Tuhan membutuhkan iman kita agar Tuhan bisa melakukan mujizat dalam hidup kita. Karena imanlah yang menjadi kunci untuk membuka pintu rahmat mujizat yang Tuhan bisa kerjakan dalam hidup kita. Bagaimana Tuhan bisa membuka pintu rahmat jika kita tidak memberikan kuncinya?
Permasalahanya iman seperti apa yang dikehendaki Tuhan? Peristiwa penyembuhan anak pegawai istana ini sendiri menunjuk pada transisi iman. Semula ia mencari Yesus karena butuh mujizat. Ia tipikal kebanyakan orang Galilea, yaitu percaya kalau ada tanda atau mujizat. Lebih lanjut, teguran Yesus kepada pegawai istana bahwa “jika kamu tidak melihat tanda dan mujizat, kamu tidak percaya” mempunyai makna pengujian.
Yesus ingin mengubah iman pegawai istana, dari iman yang berdasar hanya pada tanda (pengetahuan ) kepada iman yang berdasar pada kuasa Yesus dan perkataan-Nya (hubungan/relasi). Dan inilah iman yang benar, yaitu iman yang percaya penuh pada Yesus, dengan atau tanpa mujizat.
Pernyataan Yesus ini pun juga menjadi suatu peringatan atau teguran keras bagi kita. Jangan sampai kita mencari Dia karena suatu tendensi atau motivasi yang salah, bukan karena kita ingin mengenal Pribadi Tuhan Yesus lebih dalam, tapi hanya ingin kebutuhan kita terpenuhi: berkat, kesembuhan, pertolongan dan mujizatNya.
Iman yang benar harus mempunyai akar iman, yaitu penyembahan/ tindakan pengorbanan/ tindakan mempersembahkan/ penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Yak 2:21-23) dan harus mempunyai tujuan untuk membangun hubungan/relasi dengan Tuhan (Mat 7: 21-23). Di sinilah perbedaan besar antara optimisme dan iman. Tuhan tidak pernah menyuruh kita untuk optimis. Tuhan menyuruh kita untuk mempercayai/beriman kepada -Nya. Optimisme mencoba membangun kepercayaan diri supaya kita mampu untuk melewati setiap tantangan (berpusat pada diri sendiri) sedangkan beriman berakar dari satu hal, yaitu penyembahan. Iman itu bukan percaya Tuhan ada, tetapi mempercayai Tuhan yang ada (berpusat pada Tuhan). “Percaya” dan “mempercayai” dua hal yang berbeda. Untuk “percaya” yang kita butuhkan hanyalah pengetahuan yang bisa meyakinkan, tetapi untuk “mempercayai” tidak bisa lahir dari sebuah teori, tidak bisa lahir dari pengetahuan yang paling meyakinkan sekalipun. Untuk bisa mempercayai seseorang harus lahir dari sebuah hubungan/relasi. Oleh karena itu iman yang benar harus membawa kita sampai pada tujuan iman itu sendiri, yaitu membangun hubungan/relasi dengan Tuhan. Jadi tujuan kita beriman bukan untuk menerima berkat, kesembuhan, mujizat atau keselamatan tetapi untuk membangun hubungan/relasi dengan Tuhan. Dan ketika kita memiliki hubungan dengan Tuhan, maka berkat, kesembuhan, pertolongan, mujizat, perlindungan atau keselamatan itu sudah pasti akan menjadi bagian kita.
Sahabat, dalam masa pra paskah ini, kita diajak untuk semakin intensif berdialog/berelasi dengan Yesus, dalam doa-doa kita, dalam meditasi, dalam kontemplasi maupun juga dalam pelayanan-pelayanan kita setiap hari. Hendaknya doa dan pelayanan kita dilandasi dengan sikap iman yang benar, penuh penyerahan diri kepada kasih dan kebaikan Allah sendiri. Semoga Tuhan yang telah menunjukkan jalan pertobatan ini memampukan kita untuk semakin beriman secara benar kepada-Nya. Dan semoga doa Bunda Maria menguatkan perjalanan hidup kita bersama Puteranya dalam terang iman akan Allah yang hidup. Amin.
FHM